KS, JAKARTA – Analisis Greenpeace Indonesia dan The Tree Map menemukan seluas 3,12 juta hektar (ha) perkebunan sawit ilegal dalam kawasan hutan hingga akhir tahun 2019. Seperti dikutip dalam laporan terbaru Greenpeace Indonesia, setidaknya terdapat 600 perusahan perkebunan di dalam kawasan hutan, dan sekitar 90.200 hektar perkebunan kelapa sawit berada di kawasan hutan konservasi.
Letak perkebunan kelapa sawit dalam kawasan hutan paling luas berada di pulau Sumatera (61,5%) dan Kalimantan (35,7%). Dari kedua pulau tersebut, terdapat dua provinsi ekspansi besar yaitu provinsi Riau (1.231.614 hektar) dan Kalimantan Tengah (821.862 hektar). Kedua provinsi ini menyumbang dua pertiga dari total nasional.
Temuan ini membuktikan bahwa perkebunan kelapa sawit beroperasi di hampir semua kategori kawasan hutan, mulai dari taman nasional, suaka margasatwa, bahkan di situs UNESCO. Semuanya tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Sekitar 186.687 ha kebun sawit dalam kawasan hutan, teridentifikasi sebagai habitat orangutan, dan 148.839 ha sebagai habitat harimau Sumatera. Hal ini jelas mendorong kepunahan jenis satwa endemik milik Indonesia.
“Kawasan konservasi ditetapkan karena mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, artinya haram hukumnya untuk ditanami sawit”, tegas Arie Rompas, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia. Kita telah menyaksikan bagaimana kawasan-kawasan yang seharusnya dilindungi ini, dibabat habis untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit. “Sebut saja kasus Gunung Melintang di Kalimantan Barat, dan kasus Suaka Margasatwa Bakiriang, Sulawesi Tengah, ratusan hektar digunduli demi menguntungkan segelintir kelompok”, ucapnya.
Mengapa hutan Indonesia terus dirusak? Hal ini tak lepas dari buruknya tata kelola kehutanan, tidak ada transparansi, pengawasan yang lemah, dan tumpulnya penegakan hukum. Persoalan ini menyebabkan perkebunan sawit ilegal menjamur di berbagai wilayah. Perusahaan dan elit terus mengeruk keuntungan karena mereka dapat dengan mudah lolos dari jeratan hukum, tanpa perlu bayar pajak. Bahkan kini melalui UU Cipta Kerja, Pemerintah memberikan serangkaian pemutihan bagi perusahaan-perusahaan untuk ‘melegalisasi’ perkebunan ilegal mereka dan menghindari jerat hukum.
Padahal berdasarkan kajian KPK tahun 2018, kerugian negara akibat penebangan ilegal mencapai 35 triliun rupiah per tahun, serta potensi pajak di sektor sawit mencapai Rp 40 triliun, namun pemerintah hanya mampu memungut pajak sebesar Rp 21,87 triliun.
Potensi hilangnya penerimaan negara dari pajak kebun sawit tersebut tentunya tak sebanding dengan dampak sosial dan lingkungan yang dialami oleh masyarakat sekitar. Masyarakat adat dan warga yang tinggal di sekitar hutan kehilangan sumber pendapatan, menjadi korban bencana asap akibat kebakaran lahan, serta berisiko menghadapi amukan satwa liar akibat meningkatnya konflik manusia dan satwa liar.
Diantara perusahaan-perusahaan tersebut, Greenpeace Indonesia juga mengidentifikasi hampir 100 perusahaan anggota RSPO dengan masing-masing memiliki lebih dari 100 ha yang ditanam di dalam kawasan hutan, sementara terdapat delapan perusahaan dengan masing-masing memiliki lebih dari 10.000 ha. Kendati ISPO merupakan inisiatif lebih baru, perusahaan bersertifikasi ISPO secara total memiliki 252.000 ha yang ditanam di dalam kawasan hutan. Padahal kedua mekanisme sertifikasi ini secara jelas harus mematuhi hukum yang berlaku.
Keberadaan signifikan dari perkebunan-perkebunan bersertifikasi RSPO dan ISPO di dalam kawasan hutan membahayakan komitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Dalam Laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) tahun 2021, “code red for humanity,” menyatakan bahwa setelah penggunaan energi fosil, perubahan fungsi lahan, termasuk kegiatan seperti konversi kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit, merupakan penyumbang kedua terbesar terhadap perubahan iklim yang dipicu oleh manusia.
Greenpeace Indonesia juga menemukan sepanjang tahun 2001-2019, hutan primer seluas 870.995 Ha dalam kawasan hutan telah berubah menjadi kebun sawit dan diperkirakan telah melepas sekitar 104 juta metrik ton karbon. Ini setara dengan 33 kali emisi karbon tahunan yang dihasilkan untuk konsumsi listrik oleh semua rumah di Jakarta, atau 60% dari emisi tahunan penerbangan internasional.
Greenpeace mendorong pemerintah Indonesia untuk menegakkan transparansi dan keadilan untuk melindungi hutan dan hak-hak masyarakat adat. “Perusahaan yang secara ilegal mengoperasikan perkebunan kelapa sawit di dalam kawasan hutan harus mendapat sanksi yang tegas, tidak hanya administratif tetapi juga sanksi pidana, alih-alih menikmati pemutihan,” tegas Arie. Menurut Arie sanksi tegas ini patut diterapkan, sebab upaya pembenahan sawit dalam kawasan hutan sudah dimulai hampir satu dekade lalu. Pertimbangan dampak ekologi perlu dimasukkan ke dalam rencana tata ruang, sementara penguatan pekebun swadaya perlu dibantu, sehingga Indonesia bisa memastikan ekonomi yang berkelanjutan berjalan seirama dengan perlindungan keanekaragaman hayati, dan mempertahankan kenaikan suhu bumi di bawah 1,5 derajat untuk mengurangi dampak krisis iklim. (Wid)