Ironis, biasanya masyarakat bersuka cita menyambut hari Kemerdekaan dengan mengibarkan bendera merah putih. Namun, jelang hari kemerdekaan RI ke-76, masyarakat Indonesia, khususnya para pelaku usaha dari berbagai daerah justru ramai-ramai mengibarkan bendera putih sebagai tanda menyerah pada ketidakmenentuan situasi pandemi Covid-19.
Pengibaran bendera putih di sejumlah daerah semakin ramai dalam seminggu terakhir dalam masa pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM).
Bukan hanya sebagai tanda menyerah, aksi pengibaran bendera ini juga menjadi upaya masyarakat untuk mengetuk hati pemerintah demi sebuah solusi pasti.
Berbagai aksi pengibaran bendera putih oleh pelaku usaha di sejumlah daerah perlu disikapi sebagai kekalahan dan kekhawatiran mereka untuk mempertahankan sumber penghidupan. Bagaimana tidak, sudah lebih dari setahun masyarakat berada dalam hantaman pandemi yang membuat segala amunisi untuk tetap menggulirkan usaha, tapi pada akhirnya harus habis juga.
Sosiolog Universitas Negeri Semarang, Fulia Aji Gustaman, memaknai aksi pengibaran bendera putih itu sebagai ekspresi kegelisahan warga atas realitas terkini. Dalam teori interaksionisme simbolik, simbol-simbol tertentu dipakai untuk mengekspresikan kekhawatiran secara tersirat.
”Dalam konteks perang, bendera putih dikibarkan satu pihak sebagai tanda menyerah. Adapun pengibaran oleh pelaku usaha di Tegal jadi pesan tersirat bahwa mereka sudah tidak sanggup menahan serangan pandemi dan dampaknya,” kata Aji seperti dikutip dari Kompas.id, Rabu (4/8).
Pengibaran bendera putih sebagai tanda menyerah telah dilakukan sejak era kedinastian bangsa China pada 25 hingga 220 sebelum Masehi. Sejumlah sejarawan juga mengungkap bahwa simbol itu telah ada sejak masa kerajaan Romawi 109 sebelum Masehi.
Sektor yang paling terdampak
Hasil survei dampak Covid-19 terhadap pelaku usaha yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun lalu menunjukkan bahwa sektor akomodasi dan makan minum menjadi yang paling terdampak Covid-19 dengan persentase mencapai 92,4 persen. Sektor usaha yang juga masuk dalam kategori paling terdampak adalah jasa lainnya (90,9 persen) dan transportasi pergudangan (90,3 persen).
Hal ini dikarenakan adanya penurunan konsumsi dari pelanggan yang juga terdampak kesulitan ekonomi akibat pandemi.
Selain itu, survei mencatat bahwa angka usaha menengah kecil maupun usaha menengah besar yang mengalami penurunan pendapatan cukup tinggi, berada pada besar persentase di atas 80 persen yang berarti mayoritas para pelaku usaha mengalami kerugian di masa pandemi.
Hal tersebut dikarenakan adanya penurunan konsumsi dari klien yang juga terdampak kesulitan ekonomi akibat pandemi.
Survei juga menemukan bahwa angka usaha menengah kecil maupun usaha menengah besar yang mengalami penurunan pendapatan cukup tinggi, berada pada besar persentase di atas 80 persen yang berarti mayoritas para pelaku usaha mengalami kerugian di masa pandemi.
Hasil survei tersebut menjadi konfirmasi jujur atas realitas ketidakberdayaan pelaku usaha menghadapi pandemi Covid-19.
Bantuan dari pemerintah tidak optimal
Setidaknya ada 10 program bantuan dari pemerintah yang digencarkan untuk masyarakat dan pelaku usaha.
Mulai dari Program Kartu Sembako, Kartu Sembako Baru, Bantuan Sosial Tunai, subsidi kuota internet, diskon listrik, bantuan rekening minimum biaya abonemen, Kartu Prakerja, bantuan beras, serta bantuan produktif usaha mikro dan untuk warung atau PKL.
Sayangnya, upaya dari pemerintah tersebut sepertinya tidak berdampak nyata. Banyak masyarakat dan pelaku usaha yang masih menolak kebijakan pembatasan meski bantuan sudah diberikan.
Hal itu menjadi bukti bahwa bantuan sosial yang digencarkan oleh pemerintah melalui berbagai program bantuan belum berdampak positif bagi penerimanya.
Pemerintah melalui Kementerian Sosial pun mengakui bahwa ada persoalan mendasar yang membuat pelaksanaan program bantuan dari pemerintah terhambat.
Mulai dari adanya ketidakberesan proses penyaluran bantuan kepada masyarakat penerima hingga ditemukannya penyaluran yang tidak sesuai ketentuan seperti adanya pemotongan dari nilai yang harus diterima dan proses penyaluran bantuan yang tidak langsung kepada penerima.(*)
Sumber: Kompas.com