KS, JAKARTA – Hasil pengujian mikroskopis terhadap galon sekali pakai memperlihatkan adanya kandungan mikroplastik dalam sampel. Laboratorium kimia anorganik Universitas Indonesia melakukan uji terhadap sampel galon sekali pakai yang beredar di kawasan Jabodetabek, serta analisa terhadap sumber mata air.
“Galon sekali pakai dipilih sebagai objek penelitian, karena belum terdapat penelitian terdahulu yang spesifik merespons penggunaan galon sekali pakai,” ujar Dr. rer.nat., Agustino Zulys, M.Sc. dari Universitas Indonesia.
Ada pun sejumlah fakta hasil penelitian yakni:
• Kandungan mikroplastik dalam sampel B galon sekali pakai ditemukan sebanyak 85 juta partikel per liter atau setara dengan berat 0.2mg/liter. Sementara kandungan mikroplastik dalam galon sekali pakai sampel A sebanyak 95 juta partikel/liter atau setara dengan berat 5 mg/liter.
• Jenis mikroplastik yang ditemukan merupakan jenis plastik yang sama digunakan pada kemasan galon sekali pakai, yakni PET.
• Analisis karakterisasi terhadap mikroplastik yang terkandung dalam sampel menunjukkan bahwa mayoritas bentuk partikel mikroplastik adalah fragmen, dengan ukuran yang berkisar antara 2,44 hingga 63,65 μm.
• Hasil analisa terhadap sumber mata air yakni Mata Air Sentul dan Mata Air Situ Gunung, menemukan sampel air yang diambil dari sumber-sumber ini semuanya mengandung mikroplastik juga dengan ukuran berkisar antara 3,20 μm hingga 66,56 μm. Akan tetapi, kandungan mikroplastik dalam sumber mata air lebih sedikit dibandingkan dalam AMDK. Artinya, keberadaan mikroplastik dalam AMDK galon sekali dapat berasal dari degradasi plastik kemasan itu sendiri.
Temuan mikroplastik dalam sampel memang tidak melebihi batas aman yang diberikan oleh WHO. Namun, demikian, bila dikonsumsi dalam jangka panjang, tentu berpotensi berisiko tinggi bagi kesehatan manusia. Penelitian ini pun mengestimasi paparan harian mikroplastik AMDK galon sekali pakai pada tubuh manusia, dengan cara memberikan kuesioner terhadap 38 responden di wilayah Jabodetabek yang mengonsumsi galon sekali pakai yang sampelnya diuji. Hasilnya, data konsentrasi mikroplastik per liter AMDK dan data konsumsi masyarakat per hari, dapat dihitung paparan harian mikroplastik dari sampel A sebesar 9,450 mg/hari dan dari sampel B sebesar 0,378 mg/hari.
Bila mengacu pada data Badan Pusat Statistik tahun 2016, sekitar 31% masyarakat Indonesia menjadikan AMDK sebagai sumber konsumsi air minumnya, dan angka tersebut adalah yang tertinggi dibandingkan sumber air lainnya. Tingkat ketergantungan yang tinggi ini berpeluang menimbulkan dampak berbahaya bagi kesehatan seperti kerusakan jaringan dan risiko kanker, bila produsen AMDK tidak memperhatikan kemasan produknya.
“Metode pengiriman alternatif harus menjadi pilihan utama bagi produsen, karena jelas plastik sekali pakai berpeluang mengancam kesehatan dan menambah beban lingkungan karena daya tampung Tempat Pemrosesan Akhir di banyak lokasi sudah melebihi ambang batas, serta masih sedikit produsen yang mempublikasikan Peta Jalan Pengurangan Sampah seperti yang telah diregulasikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” ujar Afifah Rahmi Andini dari Greenpeace Indonesia. (Wid)