KS, JAKARTA – Dewan Perwakilan Daerah Reublik Indonesia (DPD-RI) sebentar lagi genap berusia 17 tahun setelah resmi berdiri pada 1 Oktokber 2024 silam dalam sebuah konsensus politik ditingkat elit bangsa Indoneisa. Jika dianalogikan pada usia manusia angka 17 tahun ini memiliki arti yang sangat special dimana usia “seventeen” merupakan usia yang cukup tegas dalam menentukan jati diri.
Namun persoalan dan yang masih menjadi perdebatan baik ditingkat elit politik maupun masyarakat umum, keberadaan lembaga yang diketuai pertama kali oleh Ginanjar Kartasasmita kini masih menyimpan segudang pekerjaan rumah yang belum terselesaikan. Salah satunya adalah soal penguatan dan fungsi lembaga yang notabenya sebagai penyambung dan penyalur aspirasi kepentingan masyarakat daerah belum sepenuhnya maksimal lantaran terbelenggu oleh sebuah aturan yang berlaku dalam hukum ketatanegaraan di republik yang kita cintai.
Padahal lembaga ini termasuk satu diantara lembaga yang begitu strategis. Pasalnya, untuk bisa lolos dan duduk di kursi senator para anggota harus mengantongi jutaan suara dari konstituen khusunya mereka yang maju dari Dearah Pemilihan (Dapil) di provinsi-provinsi yang ada di wilayah pulau Jawa seperti Jatim, Jateng, Jabar dan tentntu Provinsi DKI Jakarta.
Seperti apa dan harus bagaimana solusinya untuk memaksimalkan fungsi peranan lembaga DPD RI?
Berikut jawabannya diungkap Wakil Ketua DPD RI Sultan Bahtiar Najamudin dalam wawancara khusus jelang HUT DPD RI bersama jurnalis kabarsenator.com berikut ini:
Sudah 17 tahun usia DPD RI sejak terbentuk pada 1 Oktokber 2004, usia “seventeen” bagi manusia itu masih tahap remaja atau pemuda, tahun ini sudah periode ke IV. Tapi faktanya masyarakat masih belum merasakan manfaat dari keberadaan lembaga tersebut, apa yang menjadi pokok permasalahan sampai seperti itu…?
Sultan B Najamudin :
Yang pertama, kami ingin menyampaikan Selamat Ulang Tahun kepada Lembaga Tinggi Negara DPD RI yang ke -17. Happy Sweet Seventeen. Harus kami akui bahwa keberadaan DPD RI belum sepenuhnya mampu menjawab semua harapan rakyat Indonesia, dengan mandatnya yang begitu besar dalam lokus kewilayahan yang cukup luas.
Namun, agar kita semua bisa adil dalam menilai, kami ingin kita semua menyadari satu bahwa bahwa, harapan kinerja yang besar sejatinya harus disertai dengan kapasitas kewenangan yang juga tidak biasa-biasa saja. Sebagai pimpinan, saya kira DPD RI sudah cukup maksimal dalam melaksanakan tugasnya selama ini. Terutama dalam menjembatani hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah, serta urusan-urusan yang terkait dengan pemerintah daerah dan otonomi dearah lainnya. Sangat parsial dan terbatas kewenangan DPD RI, inilah alasan utamanya mengapa DPD RI terkesan tidak memiliki peran dan fungsi yang sesuai harapan.
Kewenangan DPD RI Yang terkesan hanya sebagai lembaga pelengkap terutama dalam persoalan pembahasan RUU di Senayan, apa tanggapan..?
Sultan B Najamudin:
Saya kira anggapan itu tidak salah dan tidak sepenuhnya benar. Semua kita berhak memberikan penilaian yang subjektif terhadap sesuatu, apalgi terhadap keberadaan Lembaga tinggi negara. Namun jika kita Kembali melihat sejarah dan latar belakang dibentunya DPD RI, lalu dengan pemberlakuan system Bikameral demokrasi pasca reformasi, maka pada hakikatnya DPD RI merupakan salah satu institusi primer yang menjadi pilar penopang demokrasi.
Hanya saja pengaruhnya tidak bisa dirasakan langsung oleh rakyat, karena konstitusi kita membatasi job desk DPD hanya pada urusan pemerintah daerah. Jika kita berkiblat pada system ketatanegaraan dalam demokrasi Amerika, Lembaga perwakilan daerah yang disebut senat adalah institusi paling krusial, baik dalam fungsi legislasi, pengawasan dan anggaran. Posisi lebih tinggi dari DPR.
Terkait DPD tidak diberi kewenangan untuk mengesahkan RUU, kira-kira solusi apa untuk memperkuat posisi lembaga itu agar bisa lebih terlihat memiliki taring dalam menentukan arah kebijakan khusus soal RUU. Karena banyak RUU yg notabenenya usulan dari DPD hingga saat ini terkesan jalan di tempat.
Sultan B Najamudin:
Bahwa benar, hingga saat ini DPD RI tidak banyak diperhitungkan pengaruhnya. DPD haya diberikan kewenangan mengusulkan untuk RUU yang terkait dengan isu-isu kedaerahan. Di samping memberikan pertimbnagan terhadap masalah tertentu yang belum tentu diterima dan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan UU terkait pemerintah daerah.
Karena kehadiran DPD diatur dalam UUD 1945 hasil amandemen ke -4 tahun 2002, maka solusi hanya satu, yaitu melakukan amandemen ataua revisi terhadap pasal 22 C dan pasal 22 D UUD. Tentu saja dengan melakukan kocok ulang terhadap kewenangan Lembaga perwakilan lainnya.
Jika kita melihat senator di Amerika. Lembaga itu sangat power full, tetapi kenapa di Indonesia tidak lakukan seperti itu apa yg membedahan…?
Sultan B Najamudin
Seharusnya demikian, seperti yang saya katakana di awal tadi. Bahwa demokrasi bicameral dalam system ketatanegaraan kita terkesan sangat rancu jika dibandinhgkan dengan amerika. Di mana senat memiliki pengaruh dan kepentingan yang krusial bagi DPR dan presiden.
Demokrasi Amerika sudah berusia ratusan tahun. Dengan system federal yang tulen. Hal inilah yang membedakan dengan Indonesia. Kita negara kesatuan yang memberlakukan otonomi daerah. System yang juga rancu dan hybrid.
Di era Republik Indonesia Serikat RIS, lembaga yangg mirip dan menyerupai dengan DPD saat ini sebenarnya sudah ada yaitu Senat RIS yang jumlahnya sekitar 16 senat dari tiap-tiap wilayah, kepentingan senat RIS pun sama yaitu menyuarakan kepentingan daerah. Sejarahnya senat RIS sempat menjadi satu lembaga yang memiliki pengaruh luar biasa sebagai majelis tertinggi. Mungkinkah DPD RI ini bisa mengulangi kejayaan masa itu ..?
Sultan B Najadmudin:
Saya percaya pola sejarah selalu berulang dengan pelaku dan actor yang berbeda. Namun yang paling penting dan menentukan sebenarnya adalah tentang political will. Apakah kita sepakat untuk menata ulang system ketatanegaraan kita, di tengah demokrasi yang cenderung executive heavy ini.
Tentu sangat sulit, bukan tidak mungkin. Dulu negara ini dibangun tanpa kepentingan dan keberadaan partai politik. Hanya ada penganut ideologi-ideologi besar dunia. Saat ini, kebijakan public dan hukum bahkan konstitusi sangat ditentukan oleh kepentingan politik. Tapi inilah ujiian sejarah kebangsaan. Apakah para pemilik partai ingin dikenang sebagai negarawan atau justru mempertahankan status quo demokrasi Indonesia dengan memposisikan perannya hanya sebagai politisi.
Kelompok DPD RI saat ini terdengar sangat kenceng sekali, terkait soal isue bicameral, apa mungkin kewenangan DPD RI bisa setara dengan DPR RI…?
Sultan B Najamudin:
DPD RI tidak sama sekali pada posisi ingin menempatkan diri sejajar posisi DPR RI. tidak ada motif politik DPD yang mendorong untuk mendapatkan kewenangan yang sama, karena dikhawatirkan akan terjadi dual system representative. bagi kami DPR merupakan Lembaga perwakilan rakyat yang penting bagi demokrasi. Kami bekerjasama dalam banyak hal dalam rangka membangun consensus pembangunan nasional secara baik. Mereka adalah representasi rakyat begitupun kami di DPD.
Hanya saja, dengan legitimasi yang sama, kapasitas kewenangan DPD belum diberikan secara proporsional oleh konstitusi. Pada hakikatnya, Kita berasal dari sumber politik yang berbeda, tentu saja memiliki motif dan orientasi politik yang berbeda pula.
Tidak hanya itu, banyak kalangan senator di DPD juga banyak yg menginginkan soal jalur independen ataw perseorangan untuk pencalonan kursi presiden, mungkinkah itu bisa terealisasi…??? Apa UU membolehkan…?
Sultan B Najamudin:
Sebenarnya bukan hanya kalangan senator yang menyerukan dihapusnya ketentuan presidential threshold. Banyak ahli ketatanegaraan dan ekonomi serta akademisi pada umumnya keberatan dengan system ini. Karena selain diskriminatif, hal ini berpotensi melahirkan sosok pemimpin yang tidak kapabel dan sangat dipengaruhi oleh kekuatan tertentu, dan hal ini dapat melemahkan wibawa presiden dalam system presidensial. Kekuatan politik itu termasuk partai politik beserta oligarki di belakangnya. Dalam skala tertentu menimbulkan segregasi social yang serius.
Tentang dihapus atau tidaknya, sejatinya Konstitusi dan UU pemilu telah mensyaratkan hal ini. Jadi Sangat sulit untuk mengubah ketentuan ini, meskipun bukan berarti tidak mungkin. Tapi sekali lagi keputusan hukum Indonesia sangat tergantung pada kehendak politik dari partai politik dan pemerintah. Bahkan Mahkamah Konstitusi terkesan tidak begitu aware dengan isu ini. Jadi harapan dihapuskannya presidential threshold adalah sangat kecil. Saya tidak sedang pesimis tapi realitas politiknya demikian.
Di DPD untuk periode 2019-2024 kita lihat banyak tokoh daerah yg luar biasa, setidaknya ada sekitar 18 mantan pemimpin daerah baik bupati/walikota maupun Gubernur, itu artinya DPD merupakan lembaga yg cukup strategis terbukti banyak yang berminat untuk duduk di kursi DPD, apa tanggapan ya..?
Sultan B Najamudin:
Benar sekali. Bagi saya ini merupakan indikasi bahwa DPD RI merupakan Lembaga tinggi negara yang tuntas dalam system recruitment politik. DPD RI benar-benar menampilkan sisi kualitas figure yang notabene sudah senior dan memiliki jam terbang yang tinggi dalam membangun daerah. Pengabdiannya telah tuntas. Sehingga Tidak ada lagi motif untuk mengakumulasi kekayaan. Maka saya kira, sudah saatnya, negara melalui konstitusi memberikan kepercayaan yang lebih proporsional kepada DPD RI.
Saat ini, keterwakilan anggota DPD RI disetiap provinsi hanya 4 kursi baik di provinsi yang memiliki banyak jumlah penduduk dan luas wilayah, apa tidak sebaiknya jumlah kursi juga disesuaikan dengan jumlah pemilih, artinya tidak di generalisasikan..?
Sultan B Najamudin:
Karena DPD adalah representasi daerah, maka rasanya tidak relevan jika jumlah anggota DPD disesuaikan dengan jumlah penduduk di daerah. Amerika malah hanya mewakilkan dua orang senator dari setiap negara bagiannya. Secara substansial, Yang paling penting adalah distribusi kewenangan yang proporsional kepada DPD RI bukan jumlah senatornya.
Terakhir, apa yangg menjadi harapan dan impian serta cita-cita DPD RI kedepan agar menjadi sebuah lembaga tinggi negara yang miliki bargaining position setara dengan lembaga lainya..?
Sultan B Najamudin:
Sebagai bagian dari system bicameral demokrasi, DPD RI tentu berharap bisa diposisikan seperti senat Amerika. Atau Setidaknya, kami ingin DPD diberikan kewenangan legislasi yang utuh dan tentu saja hak untuk pengawasannya. Jika ingin membedakan DPD dan DPR, maka abaikan kewenangan pembahasan anggaran dari. DPD merasa cukup dengan memberikan pertimbangan dalam proses pembahasan anggaran. Tapi biarkan kami berkhidmat secraa maksimal dalam proses legislasi dan pengawasan. ***