April 20, 2024

Kabar Senator

Media Aspirasi dan Inspirasi Daerah

Home » RI China Bersama Mengarungi Badai Resesi Global

RI China Bersama Mengarungi Badai Resesi Global

KS, JAKARTA – Taman Shougang di Beijing adalah salah satu kisah sukses regenerasi urban di China. Area itu dulu ditempati raksasa industri besi yang mulai beroperasi tahun 1919 dan pada masa jayanya mampu memproduksi 10 juta ton per tahun – bandingkan dengan kapasitas nasional kita tahun lalu sebesar 12,5 juta ton. Kini, taman hijau luas, fasilitas olahraga, bangunan komersial serta kantor publik yang modern dan ramah lingkungan mencagari cerobong asap, tanur sembur dan simbol warisan industri sosialis lainnya.

Jelang Olimpiade 2008, demi mengatasi polusi, pemerintah secara bertahap menyetop produksi dan mentransformasi Shougang. Di tahun 2016, upaya ini mendapat pengakuan C40 – sebuah jejaring walikota skala internasional – sebagai proyek karbon-rendah terambisius dalam Program Pengembangan Iklim Positif C40. 

Tempat ini juga merupakan lokasi penyelenggaraan Pameran Internasional untuk Perdagangan Jasa (CIFTIS). Di usianya yang ke-10, pihak penyelenggara bertekad memperluas platform mereka terlepas dari ketatnya kebijakan Nol-Covid Dinamis (0-CD).

Sebagai pemegang 30 persen pangsa manufakturing global, China memiliki kemandirian moneter yang cukup tangguh. Kemampuan mengontrol risiko pelarian modal di tengah krisis nampaknya juga masih sanggup menahan stabilitas domestik. Yang perlu diperhatikan adalah risiko perlambatan.

Sebagai antisipasi, minggu lalu Dewan Negara meluncurkan 19 paket stimulus terbaru, yang meliputi: Stimulus fiskal untuk investasi infrastruktur; jaminan ketersediaan energi; kemudahan investasi, kredit dan travel untuk sektor bisnis; pendanaan sektor pertanian demi ketahanan pangan; serta penyediaan kredit sesuai kebutuhan lokal bagi wilayah-wilayah rentan krisis properti.

Sejumlah kritik menganggap upaya tersebut belum cukup atau terlalu lambat. Namun sikap ekstra hati-hati China ini karena pengalaman pahit krisis finansial Amerika tahun 2008. Paket mega stimulus China saat itu memang telah membantu meredam krisis ekonomi dunia, tetapi juga mengakumulasi beban utang yang menindih sektor perbankan domestik dan perusahaan-perusahaan andalan pemerintah. 

Kendati bisa kita pahami, di sisi lain, resesi (teknis) Amerika membuat para pelaku ekonomi gerah dan berharap pemerintah China bertindak lebih banyak dan bergegas. Mereka jeri membayangkan dampak hard landing ekonomi terbesar dan kedua terbesar dunia terhadap ekonomi global.

Bulan Januari lalu, IMF merekomendasikan agar China mengadopsi model ekonomi yang lebih berbasis konsumsi demi “memperbesar prospek pertumbuhan dalam jangka pendek dan ekspansi berkualitas tinggi dalam jangka panjang”.

Sebenarnya, upaya restrukturisasi dari ekonomi berbasis ekspor menjadi berbasis konsumsi telah berdengung sejak 2007 dan resmi dicanangkan di Kongres Rakyat Nasional ke-11 tahun 2012. Krisis finansial 2008 yang berkepanjangan mendesak para pimpinan saat itu untuk mengurangi ketergantungan pada pasar Barat. Upaya restrukturisasi tidak semudah membalik telapak tangan mengingat kompleksitas dinamika sosial politik domestik dan geopolitik.

Dengan semakin memburuknya hubungan AS dan China – sejak kebijakan pivot ke Asianya Obama, perang dagang Trump, hingga sinyal decoupling Biden – dan dengan diadopsinya kebijakan kontra-inflasi di Barat – yang berarti menyusutnya permintaan ekspor dari China -, urgensi restrukturisasi terasa kian mendesak. 

Untuk itu, pemerintah China telah mengidentifikasi dua titik prioritas: Pertama, revitalisasi konsumsi domestik; Kedua, pembaruan sektor bisnis, terutama sektor ekonomi digital, pengembangan Kecerdasan Buatan (AI) dan Energi Terbarukan.

Meski IMF dan WTO telah menurunkan perkiraan pertumbuhan global menjadi 3,2 persen dan perdagangan barang 3 persen untuk tahun ini, perdagangan jasa tetap dipandang memiliki potensi lebih baik.

Dalam lima tahun ke depan, China menargetkan impor produk dan layanan senilai lebih dari $10 triliun dolar. Angka perdagangan antara China dan negara-negara RCEP di kuartal pertama tahun 2022 (Q1-2022) menampilkan indikator pertumbuhan menarik – impor ke China US$ 218 miliar dan ekspor dari China US$ 203 miliar.

Potensi China sebagai pasar konsumen terbesar di dunia didorong oleh peningkatan kualitas struktur konsumsinya. Pandemi telah membuka kesempatan transformasi ekonomi hijau dan digital di China. Meningkatnya permintaan akan produk inovatif dan format bisnis baru berpotensi semakin mempercepat proses pemulihan ekonomi. Transformasi digital yang dipandu pemerintah – seperti big data, cloud computing dan AI – diarahkan pada ekonomi riil, seperti internet perindustrian dan digitalisasi industri.

Di sinilah letak makna krusial CIFTIS, yang untuk pertama kalinya mengangkat sektor jasa lingkungan dengan elemen teknologi digital, seperti energi rendah karbon, ekonomi karbon, netralitas karbon dan teknologi hijau.

Pada pembukaan CIFTIS, dalam suratnya, Presiden Xi mengajak dijalinnya “upaya global untuk bersama-sama menegakkan multilateralisme sejati dan mendorong ekonomi jasa yang terbuka demi pemulihan ekonomi dunia.” “Kebijakan Keterbukaan tingkat tinggi” yang dijanjikan Presiden Xi akan “terus mempermudah akses pasar ke sektor jasa, meningkatkan keterbukaan perdagangan jasa lintas perbatasan dan terus berusaha membangun sistem terbuka untuk layanan berstandar tinggi.”

Pemerintah RI perlu terus mendukung partisipasi delegasi Indonesia dalam CIFTIS sekarang dan ke depannya. Pilar ekonomi masih merupakan tulang punggung hubungan bilateral kita dengan China. BKPM mencatat investasi Q1-2022 dari Hong Kong menduduki peringkat kedua ($1,5 miliar) dan China peringkat ketiga ($1,4 miliar).

China masih merupakan mitra dagang terpenting bagi Indonesia. Nilai perdagangan bilateral tahun 2021 meningkat 54,04 persen dari tahun sebelumnya. Pangsa terbesar ekspor terbesar RI tahun 2021 masih menuju China (24 persen dari total ekspor atau $53,78 miliar), demikian pula dengan impor (29 persen dari total impor atau $56,23 miliar). Walau masih tercatat defisit, tapi jeda antara nilai ekspor dan impor semakin menipis.

Presiden Jokowi bahkan nampak yakin bahwa Indonesia akan segera surplus. Menilik potensi besar pasar China, hal itu sangat mungkin, namun juga sangat membutuhkan sinergi strategis dan komprehensif lebih lanjut.

Tema “Hijau” dan “Digital” memang masih terbilang baru dalam dinamika kemitraan strategis komprehensif RI-China, dan membutuhkan eksplorasi lebih mendalam dan kritis. Faktanya penyumbang ekspor terbesar dari Indonesia datang dari sektor yang tidak terlalu hijau – bahan bakar mineral dan besi baja.

Kerjasama digital pun belum ditopang dengan regulasi dan infrastruktur domestik yang solid dan merata. Menkominfo menargetkan jaringan 4G akan mencapai seluruh Indonesia tahun ini, namun masih ada 12.548 desa dan kelurahan belum terjangkau. Sedangkan fasilitas 5G yang ada masih berupa gimmick. Keamanan siber merupakan aspek lain yang perlu ditelaah, mengingat perusahaan China seperti Huawei dan ZTE memegang posisi penting di Indonesia.

Keberhasilan China dan Indonesia menjaga pertumbuhan ekonomi positif selama pandemi merupakan kontribusi signifikan bagi ekonomi global. Dengan badai resesi dan gejolak geopolitik di depan mata, masih banyak yang harus kita dorong lebihj jauh dalam kemitraan kita dengan China untuk bisa terus menjaga momentum positif tersebut. (Wid)

ArabicChinese (Simplified)EnglishIndonesianRussianSpanish