KS, JAKARTA – Koordinator Tim Penasehat Hukum Heddy Kandou, Prof. Dr. Otto Cornelis Kaligis, SH, MH, menegaskan bahwa Jaksa Penuntut Umum (JPU) Perkara tindak pidana korupsi, pengadaan barang dan jasa antara PT. Interdata Teknologi Sukses dengan PT. PINS Indonesia, PT. Telkom Telstra, dan PT. Infomedia Nusantara, periode tahun 2017-2018, senilai Rp. 232 miliar, telah memutarbalikkan fakta hukum, dengan menuduh Heddy Kandou (Direktur PT. Haka Luxury) lah yang menggerakkan Padmasari Metta (Direktur Operation PT. Quartee Technologie 2018-2019), dalam pengurusan barang dan jasa antara PT. Interdata Teknologi Sukses dengan PT. PINS Indonesia, PT. Telkom Telstra, dan PT. Infomedia Nusantara. Padahal, kata Kaligis, dari keterangan 11 saksi dalam perkara tersebut, semua saksi, bersaksi bahwa Padmasari Metta sendirilah, yang melakukan pengurusan barang dan jasa, tanpa perintah terdakwa (Heddy Kandou).
“Terdakwa pun baik di persidangan, maupun pembelaan pribadi terdakwa, tidak pernah mengakui bahwa terdakwalah yang menyuruh Padmasari Metta untuk melakukan pengurusan barang dan jasa. Replik saudara JPU mengenai tuntutan bahwa terdakwalah yang menggerakkan Padmasari Metta untuk melakukan pengurusan barang dan jasa, bukan saja fitnah, tetapi JPU juga telah memutarbalikkan fakta hukum sesuai Pasal 185 (1) KUHAP,” ujar Kaligis dalam keterangan tertulisnya, Jumat (9/2/2023).
Dijelaskannya, pelanggaran Hukum Acara adalah Kejahatan Jabatan sebagaimana diatur di Bab XXVIII KUHP. Ditambahkannya, keterangan 11 Saksi dan BAP terdakwa Heddy Kandou, bila menjadi pertimbangan Yang Mulia Majelis Hakim, cukup untuk membuktikan mengenai unsur pengadaan barang dan jasa, yang sama sekali, tidak dilakukan oleh terdakwa Heddy Kandou. “Saat melakukan penggeledahan barang bukti pun, Jaksa menyalahi ketentuan Pasal 129 KUHAP. Mestinya penggeledahan barang bukti untuk Tersangka Heddy Kandou disaksikan oleh Heddy Kandou, bukan Padmasari Metta yang dilindungi JPU,” ujar Kaligis dalam Dupliknya yang dibacakan di depan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor, pada Rabu (7/2/2023) lalu.
Ditambahkan Kaligis, anehnya, yang hadir di dalam penggeledahan adalah Padmasari Metta, yang bebas memilah-milah barang bukti, yang digunakan untuk terdakwa Heddy Kandou.
“Tetapi beranikah Yang Mulia Majelis Hakim mempertimbangkan sebelas keterangan saksi, keterangan terdakwa Heddy Kandou dan penyitaan barang bukti yang menyalahi KUHAP?,” tukas Kaligis.
Mengenai Kerugian Negara, Seharusnya Melalui Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
Dalam Dupliknya, Kaligis juga mengutip keterangan dua ahli keuangan, Dr. Eko Sembodo, SE., MM., MAk., CFrA dan Prof. Dr. Dadang Suwanda, S.E., MM., MAk, Ak, CA, yang berpendapat bahwa audit investigasi JPU, tidak memenuhi standar audit, tidak dapat diyakini (diragukan) kebenarannya dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
“Karena faktanya terdakwa tidak pernah dikonfirmasi dan diklarifikasi mengenai angka-angka kerugian negara, dan hanya BPK yang punya wewenang menentukan kerugian negara. SEMA No. 4 Tahun 2016 pun mengharuskan adanya perhitungan BPK dalam menghitung kerugian negara,” tegas Kaligis.
JPU menghindar memakai Jasa BPK sekalipun Kesepakatan Jaksa Agung – BPK, mengharuskan dalam menghitung kerugian negara, harus melalui pemeriksaan BPK. “Bila itu dilakukan JPU, pasti akan terbukti, bahwa terdakwa sama sekali tidak merugikan keuangan negara. Semoga Yang Mulia Majelis Hakim didalam memutus, tetap mempertimbangkan Pledooi kami, Keberatan, Duplik, termasuk Pembelaan Pribadi terdakwa Heddy Kandou, untuk akhirnya memberi putusan bebas murni,” harap Kaligis.
Ditambahkannya, JPU telah mengaburkan fakta persidangan dengan mempelintir kesaksian para saksi di persidangan, hanya untuk memaksakan tuntutannya terhadap terdakwa. “Mencermati dalil-dalil JPU dalam Repliknya, terdapat beberapa dalil yang tidak sesuai dengan fakta persidangan atau dengan kata lain para saksi yang bersangkutan, sama sekali tidak pernah memberikan pernyataan demikian,” ujar Kaligis.
Salah satu keterangan saksi yang diplintir adalah keterangan Elisa Danardono (Senior Sales Spesialis PT. Telkom Telstra) yang dalam Replik JPU, disebutkan bahwa Elisa Danardono mendapatkan uang ucapan terima kasih dari pihak Quartee melalui saksi Moch. Rizal Otoluwa dan terdakwa, Heddy Kandou, sebesar total satu miliar rupiah.
“Faktanya, saksi Elisa Danardono hanya menerangkan menerima uang tersebut, dari saksi Moch. Rizal Otoluwa dan terdakwa tidak berada di situ,” ungkap Kaligis.
Kemudian, dalam Replik JPU, pada keterangan saksi Moch. Rizal Otoluwa, disebutkan bahwa terdakwa telah memerintahkan Padmasari Metta untuk mentransfer uang dari PT. Interdata ke PT. Quartee, dan dari PT. Quartee ke PT. Haka Luxury serta dari PT. Interdata ke PT. Haka Luxury.
“Faktanya tidak ada pernyataan saksi Moch. Rizal Otoluwa yang menyatakan terdakwa yang memerintahkan Padmasari Metta. Bahwa terbukti JPU berupaya mengaburkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan dengan mempelintir keterangan saksi-saksi. JPU juga dengan sengaja hanya mengambil potongan-potongan (sebagian) keterangan saksi yang dianggap menguntungkan JPU. Hal ini dilakukan oleh JPU hanya untuk memaksakan tuntutannya terhadap terdakwa. Mohon Majelis Hakim Yang Mulia untuk menolak dalil-dalil JPU tersebut, dan mohon kebijaksanaan dan ketelitian Majelis Hakim untuk kembali memeriksa fakta-fakta persidangan yang sesungguhnya,” tukas Kaligis.
Tidak Ada Keterlibatan Terdakwa Dalam Pengurusan Pengadaan Barang dan Jasa PT Telkom Indonesia (Persero)
“Bahwa dalam Replik JPU yang menyatakan keterlibatan terdakwa dalam Pengurusan Proyek Telkom dengan mendalilkan keterangan dari beberapa saksi sangatlah tidak beralasan dan harus dikesampingkan, karena JPU hanya mengutip keterangan para saksi secara sepotong-potong demi keuntungan JPU dalam membantah apa yang sudah terungkap dipersidangan,” ujar Kaligis.
Dijelaskannya, sebagaimana fakta yang terungkap dipersidangan, terdakwa sudah mengundurkan diri sejak tahun 2017 dan tidak punya kedudukan maupun kewenangan untuk mewakili atau membuat kebijakan terhadap PT Quartee Technologies. Tidak ada keikutsertaan terdakwa terhadap proyek Telkom tersebut, namun Sdr. Moch. Rizal Otoluwa sebagai Direktur Utama, yang mewakili dan bertindak atas nama PT Quartee Technologies, serta saksi Padmasari Metta yang aktif berkomunikasi dan mengurus dokumen-dokumen proyek tersebut.
Saksi Iwan Setiawan, saksi Oki Mulyades Suhartono, dan saksi Rinaldo dalam pendapat yang sama, menyatakan “Bahwa saksi menyampaikan tidak ada tandatangan Heddy Kandou dalam kontrak berlangganan tersebut”.
“Bahwa telah jelas dan terang kesaksian Para Saksi yang terungkap dipersidangan telah menyebutkan terdakwa tidak pernah menandatangani kontrak perjanjian antara PT Quartee Technologies dengan PT. Telkom Indonesia (Persero), Tbk,” beber Kaligis.
Bahwa terdakwa tidak pernah memberikan arahan terhadap Sdri. Padmasari Metta terkait proyek pengadaan barang dan jasa PT. Telkom Indonesia (Persero), Tbk. tersebut. Adapun komunikasi antara terdakwa dengan Sdri. Padmasari Metta membahas mengenai serah terima pekerjaan sehubungan adanya perubahan Direksi.
Padmasari Metta Yang Aktif Dalam Pengurusan Pengadaan Barang dan Jasa Antara PT. Quartee Technologies dengan PT. Telkom Indonesia
“Yang berperan aktif dalam pengurusan pengadaan barang dan jasa serta penandatanganan dokumen-dokumen BAST (Berita Acara Serah Terima) adalah Padmasari Metta. Penuntut Umum seolah-olah mengabaikan fakta yang terungkap di persidangan,” ujar Kaligis.
Saksi Moh. Rizal Otoluwa dibawah sumpah di muka persidangan yang intinya menerangkan :
“Padmasari Metta pada bulan Januari 2018 sebagai Direktur, aktif sebagai Direktur sejak 2017. Padmasari bertindak sebagai PIC PT Quartee Technologies, di mana Semua pembahasan terkait kontrak dan lainnya antara PT. Quartee Technologies dengan PT Telkom adalah dilakukan oleh Padmasari Metta”
Saksi Syelina Yahya dibawah sumpah di muka persidangan yang intinya menerangkan
Saksi diperintahkan oleh Saksi Padmasari Metta untuk melakukan komunikasi dan memenuhi permintaan data yang diminta oleh PT PINS, PT Telkom Telstra dan PT Infomedia Nusantara berdasarkan petunjuk dari Saksi Padmasari Metta.
Saksi Rinaldo dibawah sumpah di muka persidangan yang intinya menerangkan:
“Padmasari Metta yang menjelaskan kepada PT Telkom tentang status barang pada saat itu sebagai milik PT Interdata. Selain itu, yang membuat dokumen/administrasi di PT Interdata terkait proyek Quartee adalah Selina selaku admin di Interdata dan dibantu oleh Padmasari Metta dalam membuat dokumen/administrasi di PT Interdata terkait Proyek Quartee”.
Aliran Dana dari PT. Quartee Technologies ke Terdakwa dan PT. Haka Luxury Adalah Pembayaran Hutang Piutang
JPU dalam Repliknya, menyebut, “Bahwa dalam Pledooinya Terdakwa menyerahkan dokumen pengakuan hutang PT Quartee kepada Terdakwa yang dibuat pada tahun 2020 atau setelah 4 (empat) proyek Quartee-Telkom ini selesai. Yang menjadi pertanyaan kami adalah mengapa Terdakwa tidak membuat Perjanjian Hutang Piutang dari awal? Dan diketahui pula terdakwa adalah seorang Magister Hukum. Hal ini menunjukkan jika terdakwa mengetahui jika proyek ini sudah diatur sedemikian rupa dan akan menimbulkan permasalahan hukum di kemudian hari.”
“Bahwa Penasihat Hukum memandang dalil Penuntut Umum diatas adalah keliru dan terkesan mengada-ada, serta semakin menunjukkan JPU tidak dapat membuktikan dalil-dalilnya, atau dengan kata lain JPU berusaha mengecoh Majelis Hakim dalam memeriksa fakta-fakta yang terungkap dipersidangan,” kata Kaligis.
Oleh karena itu, Penasihat Hukum kembali menerangkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan sebagai berikut. Bahwa PT. Quartee Technologies memiliki hutang kepada terdakwa dan keluarga terdakwa yang buktikan melalui bukti-bukti yang terungkap dipersidangan yakni, Surat Pengakuan Hutang tanggal 27 Mei 2020 PT Quartee Technologies kepada Heddy Kandou, Surat Pengakuan Hutang tanggal 24 Agustus 2020 PT Quartee Technologies kepada Heddy Kandou dan Surat pengakuan hutang tanggal 27 April 2021 PT Quartee Technologies kepada Heddy Kandou. Sejumlah saksi juga menjelaskan tentang hutang PT. Quartee ke Heddy Kandou.
Saksi Moh. Rizal Otoluwa dibawah sumpah yang pada intinya menerangkan sebagai berikut:
“Terkait dengan pengeluaran kepada Haka Luxury untuk membayar hutang, karena pada saat berdirinya perusahaan, PT. Quartee tidak mempunyai modal yang akhirnya meminjam kepada Sdri. Heddy Kandou.”
Selanjutnya Saksi Syelina Yahya dibawah sumpah menerangkan sebagai berikut:
“Terkait hutang milik Terdakwa, tidak tercatat oleh Padmasari Metta namun Saksi sempat dijelaskan terkait hutang PT. Quartee Technologies kepada Terdakwa dengan bukti serta tunai terkait dengan PT. Quartee Technologies memiliki hutang kepada Terdakwa.”
Bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas terbukti dan tidak terbantahkan PT. Quartee memiliki hutang kepada terdakwa, dan karena terdakwa adalah seorang Doktor dan Magister Hukum, maka terhadap hutang-hutangnya yang dahulu hanya dianggap sebagai hutang-piutang secara pertemanan, dimuka persidangan terdakwa menyatakan membuat surat pengakuan hutang dan akta pengakuan hutang agar semua hutang-hutang PT. Quartee Technologies kepada terdakwa menjadi terang.
Audit Kerugian Keuangan Negara Yang Dilakukan Internal PT. Telkom Indonesia Adalah Tidak Sah dan Tidak Sesuai Dengan Hukum
“Bahwa didalam menghitung dan mendeclare adanya kerugian keuangan negara hanya dapat dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai Lembaga pemerintah yang secara konstitusional untuk menentukan kerugian keuangan negara, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Undang-undang nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Selain daripada itu Penuntut Umum tidak menggunakan hasil audit dari BPK secara formil dan materil telah melanggar Pasal 8 ayat 3 dan ayat 4 serta Pasal 9 ayat 1 huruf a, b, dan c Undang-Undang BPK,” tukas Kaligis.
Bahwa menurut keterangan Ahli Dr. Eko Sambodo, S.E., M.M., M.Ak., CFrA yang menyatakan bahwa yang menentukan kerugian keuangan negara adalah BPK, sementara hakim hanya berwenang melakukan pemeriksaan.
Selanjutnya keterangan Ahli dari Prof. Dadang Suwanda, S.E., M.M., M.Ak., AK., CA menerangkan berdasarkan undang-undang intansi yang berwenang menghitung kerugian negara adalah BPK.
“Dengan demikian dalil Penuntut Umum dalam Repliknya pada poin H yang pada pokoknya telah ada kerugian keuangan negara adalah keliru dan tidak berdasar hukum. Oleh karena itu dalil Penuntut Umum tersebut patut untuk ditolak,” tukas Kaligis.
“Bahwa kemudian terungkap di dalam persidangan JPU melakukan penyitaan terhadap aset-aset terdakwa yang dilakukan setelah berkas P-21 atau terdakwa siap disidangkan yang juga terdakwa telah mendapatkan Dakwaan atas Perkara tersebut, selain itu JPU di muka persidangan menyatakan kepada Majelis Hakim masih akan melakukan penyitaan terhadap aset-aset terdakwa, Padahal pada saat itu sudah dilaksanakan Sidang Pertama pembacaan Dakwaan, dalam hal ini artinya JPU melakukan penyitaan terhadap aset-aset terdakwa yang tidak ada hubungan sama sekali dengan surat dakwaan JPU,” tegas Kaligis. (***)