Oleh : Dr. H. Mahyudin, ST., MM / Wakil Ketua DPD RI
Hari ini, tepat 76 tahun para pendiri bangsa memproklamirkan kemerdekaan dalam situasi yang penuh dengan keterbatasan. Semangat juang dan ridha Allah SWT yang membuat semua itu dapat terwujud. Di usia yang ke-76, sudah saatnya bangsa ini fokus untuk membangun semua aspek kehidupan, mengejar ketertinggalan dari bangsa lain, dan tidak lagi fokus pada persoalan-persoalan klasik yang seharusnya sudah selesai sejak kemerdekaan dikumandangkan.
Oleh sebab itu, sejak awal pemerintahannya, Presiden Jokowi sangat fokus memperbaiki dan membangun infrastruktur jalan dan jembatan, membangun bandara dan pelabuhan untuk membuka daerah terisolir dan mempercepat arus barang dan jasa. Selain itu juga mempermudah investasi untuk membuka lapangan kerja, membangun bendungan dan irigasi serta mencetak areal pertanian untuk meningkatkan produksi pangan.
Tak hanya itu, pemerintahan Jokowi juga fokus meningkatkan kualitas SDM dengan mendorong riset yang mampu memberi nilai tambah serta mengeluarkan kebijakan BBM satu harga dari Sabang sampai Merauke demi terwujudnya rasa keadilan.
Namun di akhir tahun 2019 lalu, di tengah pemerintah telah merampungkan program pembangunan untuk tahun berikutnya, diinformasikan bahwa di Wuhan, Ibukota Provinsi Hubei tersebar virus baru yang dinamakan dengan Covid-19.
Virus Covid-19 sangat cepat penyebarannya yang mengakibatkan tingginya tingkat kematian yakni sejumlah 4.181.915 jiwa (Data _Worldometers ,10 Agustus 2021).
Covid-19 juga dengan cepat bermutasi dalam berbagai varian dengan derajat inveksius yang lebih tinggi. Kehadiran Covid-19 memberi dampak yang luas dan massif dengan yang berdampak pada menurunkan perekonomian secara global.
Setiap negara dapat mengeluarkan kebijakan preventif untuk menghambat laju penularan sesuai dengan eskalasi dengan merujuk pada standar protokol kesehatan yang dikeluarkan oleh World Health Organication (WHO). Sampai saat ini belum ada satupun ahli Epidemiologi yang dapat memastikan kapan pandemi ini akan berakhir.
Di awal tahun 2020, Covid-19 terdeteksi pertama kali menginjakkan kaki di bumi pertiwi, pemerintah hadir memberikan keyakinan dan memastikan negara siap menghadapinya dengan mengategorikannya sebagai bencana non alam.
Karena memang demikianlah seharusnya negara harus memberi perlindungan, harapan dan rasa aman pada warga negaranya. Dalam perjalanan penanganan pandemi Covid-19 berbagai kebijakan telah dikeluarkan mulai dari pencegahan berupa physical distancing, social distancing (3 M memakai maker, mencuci tangan dan menjaga jarak), pengadaan Alat Pelindung Diri (APD) untuk tenaga kesehatan, Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) hingga pengadaan vaksin untuk mempercepat vaksinasi demi terwujudnya herd immunity . Di bidang ekonomi dan perlidungan sosial kebijakan hadir dalam bentuk program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dengan berbagai variannya.
Upaya pemerintah menangani pandemi Covid-19, juga dengan lahirnya Undang-Undang No 2 Tahun 2020 yang memberi ruang bagi pemerintah untuk dapat mengubah postur APBN melalui refocussing anggaran untuk mendukung kebijakan yang dapat dengan cepat berganti dan sangat dinamis sesuai dengan kondisi dan eskalasi penyebaran Covid-19, perlu dicatat pilihan-pilihan kebijakan yang diambil itu cukup sulit. Di tengah kerja keras pemerintah mencegah dan menghambat laju penyebaran Covid-19 dengan memobilisasi segala potensi yang dimiliki, tidak luput dari kritikan, masukan, saran dan pendapat dari berbagai kalangan yang saling bersahutan bagai katak di musim hujan.
Tentunya semua itu perlu didengar dan diperhatikan sebagai masukan untuk perbaikan kebijakan selanjutnya. Namun ada juga sebagian dari kita memanfaatkan keadaan tersebut dengan menimbun dan memperdagangkan berbagai kebutuhan penanganan Covid-19.
Penjualan masker, tabung oksigen dan obat-obatan dengan harga yang tidak terkendali dan mengutak-atik harga peti mati untuk pemulasaran jenazah korban Covid-19.
Di tengah keadaan negara yang sulit, pejabat negara setingkat menteri menjadi terdakwa atas dugaan korupsi bantuan sosial untuk masyarakat.
Di titik inilah kenangan dan kisah heroik 76 tahun yang lalu itu kembali hadir, bangsa ini pernah terperangkap dalam kubangan penjajahan demikian lama. Kesadaran akan senasib sepenanggungan memberi energi besar lahirnya jiwa patriot, kebersamaan dan kegotongroyongan menjadi senjata ampuh dalam memobilisasi segenap potensi untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan itu.
Gotong royong itu, lahir dari rahim ibu pertiwi tumbuh dan berkembang secara alamiah dalam masyarakat, gotong royong itu intisarinya Pancasila, yang seringkali kita ucapkan dan perdengarkan sebagai warisan luhur bangsa ini dan gotong royong itu yang oleh Bung Karno disebut sebagai “Pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu binantu bersama, amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagian semua, holopis kuntul baris buat kepentingan bersama!” Itulah gotong royong.
Masihkah ada gotong royong itu? karena seharusnya dalam perkara inilah kita saling menguatkan, bergandengan tangan, melangkah bersama, berat sama dipikul dan ringan sama dijinjing. Dalam urusan ini pula seharusnya rasa empati dan kasih pada sesama dipertaruhkan. Momentum ini menggugah pribadi kita masihkah gotong royong bersemayam dalam sanubari ataukah hanya tinggal sebagai cerita penghantar tidur anak cucu kita kelak dihari nanti……. salam
Dirgahayu Indonesiaku, jayalah bangsaku….. Indonesia Tangguh, Indonesia Tumbuh……