Oleh : Dr. Abdul Kholik, SH., M.Si / Anggota DPD RI dan MPR-RI Dapil Jateng
Setiap 1 Oktober, DPD RI (DPD) memperingati hari jadi. Tahun ini memasuki usia 17 tahun dihitung sejak periode pertama keanggotaan dilantik. Perspektif konstitusi, usia DPD lebih dari itu karena lahir melalui perubahan ketiga UUD NRI tahun 1945, yang dilakukan pada kurun waktu 1999- 2002.
Apapun, setiap momentum kelahiran setidaknya memberikan dua makna penting, yaitu refleksi melihat capaian kinerja, dan proyeksi melihat apa yang harus dilakukan ke depan untuk kontribusi dan fungsi lebih baik lagi.
Refleksi terhadap peran dan fungsi secara obyektifi menemukan realitas kelembagaan DPD dinilai masih lemah, karena penerapan sistem bikameral (dua kamar) yang berlaku hanya melahirkan relasi timpang.
DPR dalam posisi yang sangat kuat sementara DPD dibatasi, tanpa kekuatan yang seimbang untuk membangun chek and balance dalam pengambilan keputusan di parlemen. Meski begitu, fakta kewenangan yang terbatas, justru memberikan keuntungan lebih “steril,” sehingga dalam survey tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga negara posisinya lebih baik dari “suadara tua”-nya.
Pada dasarnya, gagasan pembentukan DPD dilandasi pemikiran urgensi pelembagaan perwakilan/fraksi utusan daerah yang semula ada di MPR. Sekaligus merspon dinamika hubungan pusat daerah yang meninggi kala itu, ditandai sejumlah daerah tidak puas akan hubungan pusat daerah, terutama dari perspektif ekonomi.
Daerah-daerah yang memiliki sumberdaya dan menjadi tulang punggung pendapatan negara, namun kesejahteraan masyarakatnya masih minim. Tuntutan untuk perimbangan keuangan pusat daerah yang lebih adil mengemuka.
Dengan demikian, pelembagaan perwakilan daerah merupakan koreksi sistem perwakilan satu kamar (unicameral) yang dinilai tidak mampu mewadahi aspirasi daerah. Pilihan model bikameral diyakini lebih sesuai dengan karakter negara besar dan beragam seperti Indonesia. Sehingga mengharuskan adanya perwakilan berbasis orang/penduduk yaitu DPR, dan DPD sebagai perwakilan berbasis wilayah.
Tujuanya tidak lain adalah memperkuat legitimasi karena menghadirkan keterwakilan yang bersumber pada pilar terbentuknya negara yaitu, penduduk dan wilayah, sehingga semua terwakili.
Kembali soal relasi timpang DPD dengan DPR saat ini tidak adapat dilepaskan dari konteks kelahirannya. Ketika pembahasan dibentuknya DPD terjadi perbedaan pandangan yang tajam. Kelompok progresif di MPR saat itu menghendaki parlemen bikameral yang kuat (strong bicameral, satu kamar dengan kamar lainya setara dan saling mengimbangi.
Kelompok konservatif, bersikap sebaliknya tidak mengehendaki ada DPD karena khawatir akan menggerus kamar yang ada, dan negara mengarah menjadi bentuk federal, karena rujukannya adalah parktik bikameral di Amerika Serikat. Kelompok moderat mengambil jalan tengah, setuju dibentuk DPD namun dengan kewenangan dibatasi (soft bicameral). Inilah yang kemudian dipilih dan menjadi keputusan MPR dalam Pasal 22D UUD NRI Tahun 1945.
Meski dari segi status dan kedudukan setara sebagai lembaga tinggi negara lapis pertama, karena dibentuk langsung oleh konstitusi, tapi kewenangannya belum sebanding. Paling kentara tentu dalam hal mekanisme kerja. Meski ada dua kamar, namaun semua proses pengambilan keputusan tetap bertumpu pada kamar pertama.
Memang DPD diberikan kewenangan legislasi, anggaran, dan pengawasan, namun semuanya dilakukan melalui DPR baik dalam bentuk pertimbangan RAPBN maupun pandangan terhadap terhadap suatu RUU yang masuk ranah kewenangan DPD, utamanya terkait lingkup otonomi daerah, hubungan pusat-daerah, pemekaran, penggabungan daerah, pengelolaan sumberdaya alam, pajak, pendididkan dan agama.
Tarik Menarik Kewenangan
Kalaulah ia seorang gadis, usia tujuh belas tahun adalah masa awal memasuki remaja dan layaknya bunga mekar di taman sari, menebar keharuman dengan kehadiranya. Tapi DPD tetap lembaga negara dimana peran, kedudukan, dan fungsinya akan tergantung relasi kuasa parlemen. Perspektif teoritik, implementasi konstitusi akan ditentukan oleh peran actor/lembaga negara, yang secara faktual punya kuasa lebih mengejawantahkan konstitusi.
DPR sebagai pembentuk undang-undang mendominasi tafsir kewenangan DPD sehingga selama tiga periode keanggotaan 2004-2019 dinamika hubungan kedua kamar ini terjadi tarik menarik DPD dengan DPR.
Jika dikontruksikan, dalam tiga periode tampak sebagai berikut. Periode pertama, era persuasif dalam memperjuangkan eksistensi. Dimulai dengan upaya meluruskan kembali konstitusi melalui usulan amandemen. Selain itu juga dilakukan pendekatan untuk menyusun tatib bersama untuk mewadahi format hubungan kerja yang seimbang dengan DPR.
Awalnya, usulan amandemen mendapat dukungan dari berbagai fraksi, hingga mencapai sepertiga anggota MPR. Namun ujungnya kandas setelah sejumlah fraksi menarik dukungan, karena khawatir akan menyaingi dan menggerus kewenangan DPR, memperpanjang pengambilan keputusan, bahkan berpotensi terjadi deadlock diantara dua kamar.
Periode kedua, masuk fase konfrontatif. Pasca kegagalan upaya persuasif dan kandasnya usulan amandemen, serta tidak diakomodasinya tatib bersama, semakin tinggi tensi hubungan DPR-DPD. Ditambah lagi, pelaksanaan fungsi legislasi dan anggaran DPD tetap tersubordinasi.
Mulailah genderang perlawanan ditabuh. DPD “menggugat” DPR melalui uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap dua produk DPR yaitu UU MD3 (MPR, DPR, DPD, dan DPRD) dan UU PPP (Pembentukan Peraturan Perundang-undangan).
Hasilnya dua putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 mengabulkan sebagian permohonan yang memposisikan DPD sebagai lembaga yang setara dengan DPR sehingga semua pelaksanaan tugas dan fungsi melalui prosedur kelembagaan, tidak lagi menjadi subordinasi, dan memiliki kemandirian. Pelaksanaan fungsi legislasi dilakukan secara tri partit, yang menempatkan DPD, DPR, dan Presiden dalam relasi yang setara.
Menariknya pasca putusan tersebut, DPR bersikukuh untuk tidak sepenuhnya mengikuti amar putusan meskipun pada peridoe 2012-2014 tengah RUU MD3, hingga akhirnya disahkan menjadi UU pada tahun 2014. Kenytaan itu membuat DPD mengajukan gugatan kembali melalui perkara Nomor 79/PUU-XII/2014.
Sama dengan putusan sebelumnya MK menegaskan kembali kesetaraan dan kewenangan pengajuan dan pembahasan RUU bagi DPD, namun keterlibatan DPD tetap hanya pada pembahasan tidak terlibat pengambilan keputusan. Disinilah letak kelemahan putusan MK, karena membuyarkan kembali perjuangan agar DPD untuk ikut memutuskan dalam pembahasan RUU,meski dua kali dilakukan uji materi.
Periode ketiga, mengarah pada upaya sinergitas. Bentuk hubungan sinergis tampak kuat dalam proses penyusunan Prolegnas dimana DPD, Pemerintah, dan DPR secara harmonis membahas dan menetapkan Prolegnas. Setiap tahun, sejak tahun 2014, minimal 1 RUU Prioritas dari DPD RI. Hanya saja keharmonisan belum berlaku pada pembahasan RUU di komisi atau Pansus. Periode ini juga ditandai “pemberian” kewenangan baru dari UU MD3 Nomor 17 Tahun 2014 yaitu pemantauan dan evaluasi Perda dan Raperda. Tidak berhenti disitu, dalam UU Nomor 15 Tahun 2019 juga ada kewenangan baru berupa Pemantauan dan Peninjauan kembali undang-undang. Kewenangan yang semula hanya dimiliki DPR, kini juga sama dimiliki DPD.
Sinergitas Kelembagaan
Gambaran kronologis tiga periode menunjukkan dengan jelas ada upaya DPR berbagi kewenangan secara bertahap kepada DPD. Ini mencerminkan sikap DPR sesunguhnya ingin membangun relasi kamar dengan tetap mengutamakan keharmonisan dan efektiftas dalam menjalankan fungsi parlemen. Mungkin tidak ideal bagi DPD, namun mungkin ini yang realistis. Sejalan dengan penataan kewenangan yang lebih komprehensif, sinergitas ini layak terus diperkuat pada aspek-aspek yang lain. Sebab masih dalam tahap “proses menjadi” yang membutuhkan waktu dan pembuktian. Konfrontasi, hanya menghabiskan energi, dan justru menimbulkan resistensi.
Pada saat yang bersamaan, DPD juga perlu membangun soliditas konsepsi dan peta jalan perjuangan menata kewenangan agar dipahami sebagai agenda berkesinambungan antar periode. Tidak kalah penting penataan mekanisme internal agar semakin kompatibel dengan kebutuhan parlemen moderen yang efektif.
Sebutan 136 fraksi selain mencerminkan kekuatan jumlah, namun melemahkan ketika dihadapkan mekanisme pengambilan keputusan. Seperti terjadi pada respon konsep penataan kewenangan DPD untuk menyetujui program RAPBN, yang akan dilembagakan melalui Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN), telah menjadi agenda pembaghasan berbagai pihak termasuk kekuatan politik dan Pemerintah. Mereka berpandangan, meski ada argumentasi kuta menciptakan sinergitas pembangunan pusat daerah, namun melihat karakter individual dalam poal pengambilan keputusan dipandang akan sangat sulit.
Jadilah wacana pentaan kewenangana sesuai tupoksi demi menjawab aspirasi daerah maupun kebutuhan DPD ke depan, masih mendapatkan penolakan.
Artinya apa? Kondisi dan mekanisme kerja internal DPD mengedepankan individualitas juga menjadi faktor dominan bagi pihak lain ketika muncul wacana melibatkan DPD dalam pengambilan keputusan di parlemen. Maka perlu ada upaya membangun mekanisme internal lebih sederhana dengan tetap menjaga konstituensi.
Pilihannya sesungguhnya sudah tersedia yaitu melembagakan kelompok provinsi sebagai basis putusan lembaga sepertinya lebih kompatibel, sesuai Tatib serta untuk menghindari potensi oligarkhi internal kelembagaan.
Sekaligus ini sejalan dengan modal sosial yang dimiliki, karena DPD berisi perwakilan seluruh provinsi. Jadi jika ingin melihat keragaman Indonesia, itu tercermin dalam keanggotaan DPD. Itulah mengapa DPD layak disebut sebagai Rumah Keindonesiaan, miniatur bangsa yang harus dijaga dan difungsikan. Dirgahayu DPD RI ke 17.***