
Oleh : English Chelvin Revaldi Samosir (Mahasiswa Hukum, Universitas Pancasila)
Di negeri ini, korupsi seakan sudah menjadi peristiwa yang terus berulang.Korupsi seperti luka yang tak kunjung sembuh di negeri ini,walaupun terkadang mereda, tapi seringkali muncul di saat rakyat mulai berharap.Korupsi bukan hanya terjadi di lingkar kekuasaan politik, tapi juga di lembaga-lembaga negara yang semestinya jadi harapan rakyat.Salah satunya, PT Pertamina perusahaan energi milik negara yang seharusnya menjadi garda terdepan kemandirian bangsa, justru tercoreng oleh ulah segelintir orang yang lebih memilih jalan gelap ketamakan.
Bagi masyarakat biasa, Pertamina mungkin hanyalah nama yang mereka lihat di SPBU, atau logo di truk pengangkut BBM.Tapi di balik nama itu ada peran besar, mengelola kekayaan energi negeri ini agar bisa dinikmati seluruh rakyat.Ketika korupsi terjadi di dalamnya, yang terdampak bukan hanya kondisi keuangan negara, tapi juga kehidupan masyarakat yang berharap pada harga BBM yang terjangkau, listrik yang merata, dan pembangunan yang adil.
Kasus-kasus korupsi di Pertamina baik yang telah terbongkar maupun yang masih tersembunyi menunjukkan adanya krisis nilai-nilai pada moral bangsa.Dan di sinilah kita perlu kembali mengingat Pancasila.Lima sila yang selama ini kita ucapkan setiap Senin pagi itu bukan sekadar formalitas.Pancasila adalah pedoman moral kehidupan berbangsa dan bernegara.Tapi, apa jadinya ketika Pancasila sebagai pedoman moral kehidupan berbangsa dan bernegara itu dikesampingkan?
Sila Pertama Pancasila, yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa, mengajarkan untuk mendorong setiap inividu dan kelompok untuk menjunjung tindakan yang berdasar pada moral spiritual dalam bersikap tindak.Setiap agama yang dianur oleh seorang individu maupun kelompok mengajarkan tentang kejujuran, tanggung jawab, dan takut pada Tuhan.Tapi dalam praktiknya, tak sedikit pejabat yang tetap menjalankan ibadahnya, sembari di waktu yang sama menandatangani kontrak penuh tipu daya.Mereka yang melakukan korupsi bukan tidak tahu bahwa perbuatannya salah, mereka hanya merasa aman, karena sistem dan lingkungan yang memberi ruang celah.Dalam diam, nilai Ketuhanan itu terlupakan, dan rasa malu kepada Tuhan pun menghilang.
Sila kedua Pancasila, yang berbunyi Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab, mengajarkan untuk selalu berbuat adil dan melakukan tindakan yang beradab,yang sesuai dengan nilai kemanusiaan.Mereka yang korup di balik meja kerja yang nyaman mungkin tak melihat langsung dampaknya.Tapi rakyat kecil yang merasakannya.Ketika harga BBM naik karena salah kelola, ketika subsidi hilang entah ke mana, ketika pembangunan energi tak kunjung sampai ke desa mereka itulah harga dari korupsi.Itu bukan hanya angka dalam laporan, tapi cerita nyata tentang anak-anak yang harus belajar tanpa listrik, ibu-ibu yang harus antre BBM, dan petani yang tak mampu beli solar untuk traktor mereka.Di mana letak keadilan dan keberadaban ketika pejabat hidup mewah sementara rakyat berjuang untuk kebutuhan dasar?
Sila ketiga Pancasila, yang berbunyi Persatuan Indonesia, yang mana mengajarkan untuk selalu mengutamakan kepentingan bangsa dan bernegara di atas kepentingan kelompok, suku, dan agama.Bangsa ini pernah dibangun di atas semangat gotong royong dan persatuan. Tapi bagaimana mungkin rakyat percaya pada negara, jika institusinya justru menipu rakyat.Ketika masyarakat melihat para penguasa hidup nyaman dari uang haram, lahirlah rasa frustasi dan ketidakpercayaan.Persatuan tak lagi terasa, digantikan oleh rasa kecewa, dan menyatakan “Semua pejabat sama saja,” begitu kata banyak orang. Ini berbahaya.Karena bangsa yang kehilangan kepercayaan pada negaranya, perlahan akan kehilangan arah.
Sila keempat Pancasila, yang berbunyi Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dan Permusyawaratan Perwakilan, mengajarkan bahwa, pemimpin harus bertindak dengan penuh hikmat, mengutamakan kepentingan bersama, dan menjaga keadilan, kepemimpinan itu soal teladan.Tapi sayangnya, banyak pejabat sekelas BUMN besar seperti Pertamina justru memperlihatkan contoh yang buruk.Keputusan penting dibuat bukan atas dasar kepentingan rakyat, tapi kepentingan pribadi dan kelompok.Tak ada musyawarah, tak ada pertimbangan arif yang ada hanya kalkulasi untung-rugi pribadi.Pemimpin semacam ini bukan lagi pelayan rakyat, tapi penjaga kepentingan segelintir orang.
Sila kelima Pancasila, yang berbunyi Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, yang mengajarkan untuk adanya pemerataan perlakuan yang adil dan setara, dan juga mengajarkan pentingnya keadilan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti ekonomi, hukum, dan sosial.Kita sering dengar bahwa kekayaan alam Indonesia melimpah.Tapi kekayaan itu tidak otomatis menciptakan keadilan.Ketika hasil bumi dikelola oleh tangan-tangan kotor, yang terjadi justru sebaliknya, yang kaya semakin kaya, yang miskin makin tertinggal.Keadilan sosial menjadi mimpi yang makin jauh Sementara pejabat yang korupsi menikmati liburan ke luar negeri dan mengendarai mobil mewah, sedangkan sebagian rakyat masih hidup dalam gelap karena listrik tak kunjung datang. Ironis, menyakitkan, tapi nyata.
Kita tak bisa terus-menerus mengutuk korupsi sambil membiarkan nilainya tumbuh di sekitar kita.Pendidikan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar moral harus dimulai sejak dini, tapi yang lebih penting,Pancasila harus dicontohkan oleh mereka yang berkuasa. Anak-anak tidak akan percaya pada Pancasila jika mereka tumbuh besar melihat pemimpinnya sendiri mencuri dari milik negara.
Pertamina hanyalah satu contoh, tapi ia mencerminkan luka yang lebih besar: bahwa Pancasila sedang kehilangan tempatnya di jantung kekuasaan.Maka tugas kita bukan hanya menindak korupsi secara hukum, tapi juga menghidupkan kembali nilai-nilai yang telah lama ditinggalkan.Mengingatkan bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan hak milik.Bahwa jabatan adalah pengabdian, bukan jalan pintas menuju kekayaan.
Kalau kita ingin bangsa ini benar-benar berdiri di atas Pancasila, maka kita harus berani untuk menyudahinya.Korupsi bukan budaya kita.Pancasila adalah milik rakyat, dan sudah waktunya kembali menjadi ruh dalam setiap keputusan, kebijakan, dan langkah kita ke depan.