April 19, 2024

Kabar Senator

Media Aspirasi dan Inspirasi Daerah

Home » COP 26 Belum Melahirkan Kesepakatan Ambisius dan Terukur di Tengah Dampak Krisis Iklim

COP 26 Belum Melahirkan Kesepakatan Ambisius dan Terukur di Tengah Dampak Krisis Iklim

KS, JAKARTAKonferensi COP 26 akan segera usai di pekan ini, namun tidak ada tanda-tanda adanya kesepakatan ambisius dan terukur dari para pihak yang hadir dalam perhelatan tersebut, termasuk Pemerintah Indonesia. Berdasarkan draft kesepakatan COP 26 yang terbagi dalam 8 segmen, dalam hal mitigasi, hanya ada ‘seruan agar para pihak mempercepat penghentian penggunaan batu bara dan subsidi kepada bahan bakar fosil (poin 19)’

Demikian pula terkait sektor kehutanan, hanya disebutkan, ‘Menekankan pentingnya solusi berbasis alam dan pendekatan berbasis ekosistem, termasuk melindungi dan memulihkan hutan, dalam mengurangi emisi, meningkatkan penyerapan dan melindungi keanekaragaman hayati (poin 20)’.

Terhadap hal tersebut, Leonard Simanjuntak, Kepala Greenpeace Indonesia, mengatakan:

“Laporan IPCC tentang Basis Ilmu Fisika, jelas memperlihatkan fakta-fakta yang perlu disikapi secara cepat, salah satunya, bahwa suhu permukaan global telah menghangat dengan signifikan, dengan lima tahun terakhir (2016-2020) menjadi rekor tahun terpanas setidaknya sejak tahun 1850. Dan dengan tingkat kenaikan permukaan air laut yang semakin cepat, ini menjadi ancaman bagi banyak wilayah pesisir seperti di Tanah Air.”

“Oleh sebab itu, sangat disayangkan bila COP 26 hanya melahirkan kesepakatan yang tidak menjawab dampak krisis iklim dengan langkah progresif dan konkret. Sekarang ini bukan saatnya untuk menyerukan kebijakan yang bersifat umum. Sekarang saatnya menuangkan berbagai angka definitif dalam hal target emisi dan waktu.”

“Pemerintah Indonesia melalui Delegasi RI di Glasgow harus memperjuangkan Kesepakatan COP 26 yang mencantumkan penghentian penggunaan batubara dan energi fosil lainnya segera, dan dalam kerangka waktu yang jelas. Hanya dengan cara itu kita bisa mencapai target pemanasan global maksimal 1,5 derajat Celcius dan menghindari bencana iklim permanen.”

Agar target 1,5 derajat Celcius di level nasional dan global tercapai, Greenpeace Indonesia memandang penting agar pemerintah melakukan:

Di sektor energi, penutupan PLTU batu bara sebelum 2040,dengan pentahapan dan timeline yang jelas. Selain itu, penghentian pembangunan PLTU batu bara baru juga harus dilakukan saat ini juga agar tidak terjadi carbon lock-in dan menggagalkan pengurangan emisi GRK dan pengembangan energi terbarukan. Bersamaan dengan itu, insentif kebijakan dan pendanaan yang jauh lebih besar harus diciptakan untuk memastikan porsi besar bagi energi terbarukan pada bauran energi nasional. Proyek co-firing, biofuel, dan nuklir tidak bisa disebut sebagai energi bersih dan terbarukan karena emisi yang dihasilkan tetap besar, tetap terkait dengan energi fosil, dan dapat menghasilkan dampak lingkungan yang masif.

Di sektor kehutanan, berkomitmen melindungi hutan alam dan lahan gambut yang tersisa, menghentikan izin-izin baru dan melakukan evaluasi terhadap izin-izin konsesi yang sudah dikeluarkan, serta memperkuat penegakan hukum untuk mencapai nol deforestasi.     Memperkuat moratorium hutan dan lahan gambut dengan regulasi yang kuat dan mengikat pada level Peraturan Presiden,  dan melanjutkan moratorium sawit dengan berfokus kepada penyelamatan hutan alam, khususnya hutan alam yang tersisa seluas 34,362 juta hektar di Tanah Papua dan mengakui serta melindungi hak- hak masyarakat adat.

Dalam hal pendanaan iklim global, Indonesia harus lebih tegas memperjuangkan agar kesepakatan pendanaan sedikitnya USD 100 miliar per tahun dipenuhi oleh negara-negara maju, agar negara-negara berkembang dapat melaksanakan berbagai agenda mitigasi, transisi energi dan adaptasi. Juga Indonesia perlu memperjuangkan skema pendanaan global untuk mengatasi kerusakan-kerusakan masif yang diakibatkan bencana-bencana iklim di negara-negara miskin.

“Di sisi lain Indonesia harus menyadari risiko-risiko yang besar bila skema perdagangan karbon global ditetapkan di COP26, yang memungkinkan terjadinya carbon offset secara masif. Carbon offset tetap memberikan ruang bagi emisi karbon terus dihasilkan, dan secara potensial dapat menghalangi target-target pengurangan emisi karbon di sumbernya. Pada akhirnya, angka bencana hidrometeorologi berpotensi terus meningkat, sulit mencapai target zero emission, dan hak-hak ulayat serta ketahanan pangan masyarakat adat pun terancam,” tutup Leonard. (Wid)

ArabicChinese (Simplified)EnglishIndonesianRussianSpanish